Kata Al-Jalil berasal dari kata al-jaliah arti mulanya adalah unta yang besar. Dalam Al-Qur'an tidak ditemukan kata Al-Jalil. Namun ada dua ayat yang menunjukkan sifat ini dengan menggunakan lafadz Dzul jalaali wal ikraam (Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan).
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata Al-Jalil mengandung isyara menafikan. Misalnya Alllah tidak berbentuk fisik, tudak butuh, tidak lemah dan sebagainya. Pendapat lain menyatakan bahwa Al-Jalil adalah Dia yang berwanang memerintah dan melarang. Dia yang menampakkan diri kepada mahluk-Nya, tetapi mereka tidak mampu melihat-Nya dengan mata kepala, karena mata kepala mereka tidak mempu menyaksikan keindahan dan kesempurnaan-Nya. Dialah Tuhan yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Tidak ada energi, materi, atau waktu yang menyamai keagungan, keperkasaan dan kekekalannya. Dzat, sifat dan keberadaan-Nya Agung dan besar serta tidak dapat diukur dengan waktu dan tempat. Tetapi Dia di sini, dimana-mana dan di segala zaman. Pengetahuan-Nya sangat besar, segala sesuatu diketahui-Nya, karena Dialah yang menciptakannya. Kekuasaan-Nya sangatlah besar, Dia meliputi (menguasai) seluruh alam bahkan setiap atom. Kasih sayang-Nya sangatlah besar. Dia mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Kemurahan-Nya tidak terbatas. Kekayaan-Nya tidak pernah habis. Siapakah yang harus di hormati, dipuji, dicintai, dan ditaati selain Dia yang Maha Agung dan Maha besar.
Imam Ghozali dalam menjelaskan sifa ini beliau berpendapat yang lebih rinci. Menurutnya lafadz Al-Jalil menyandang sifat-sifat jalaal (keagungan dan kesempurnaan). Yaitu Maha Kaya atau tidak butu, Maha Suci, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha yang lainnya. Dengan demikian, dapat dibedakan antara al-Kabir, al-'Adzim, dan Al-Jalil. Kebesaran sifat-sifat-Nya dan adzim-Nya merupakan gabungan dari kebesaran dzat dan sifat yang dinisbatkan kepada jangkauan mata hati (immaterial). Yang mengandung sifat ini di namai al-jamil (cantik/indah). Memang pada mulanya, kata indah atau cantik digunakan untuk melukiskan sesuatu yang bersifat material yang dijangkau oleh mata kepala. Namun kata indah juga kemudian mencakup segala hal yang bersifat imameterial yang dijangkau oleh mata hati. Sesuatu yang bersifat immaterial yang cantik dan indah, jika dijangkau oleh mata hati, akan melahirkan kelezatan dan kegembiraan melebihi kelezatan dan kegembiraan yang dirasakan oleh mata kepala.
Allah maha indah. Segala keindahan dan kebesaran dari-Nya. Orang-orang arif yang dapat menjangkau sekelumit dari keindahan Allah melalui mata hati mereka akan merasa sangat merasa sangat bahagia dan mencintai-Nya. Bukankah mata merasa senang dan mencintai kepada sesuatu yang bersifat indah?.
HIKMAH AL-JALIL
Dalam meneladani sifat ini, manusia dituntut agar penampilannya selalu indah dan bersih, baik lahir maupun batin. Ia hendak menyandang sifat-sifat yang mulia, serta budi pekerti yang luhur, yang melahirkan keagungan dan mengandung kekaguman. Sifat dan pribadi demikian akan mengandung dan mengundang simpati dan cinta, serta keseganan dan wibawa ayng mengantar mata orang lain tidak mempu memendang wajahnya. Bukanlah Allah Yang Maha Inadah dan mencintai keindahan. Bukankah Dia yang karena keindahn-Nya dan keagunagan-Nya menjadikan mata manusia tak mampu menatap-Nya.
Dalam Al-Qur'an disebutkan :
“Tatkala Musa datang untuk bermunajat dengan kami,
pada waktu itu telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)kepadanya,
berkatalah Musa: “ Ya Tuhanku, nampakkanlah diri-Mu kepadaku agar dapat melihatmu”.
Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku,
tetapi lihatlah bukit ini, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti semual)
niscaya kamu dapat melihatku. Tatkala Tuhannya menampakkan dirinya Kepada gunung itu,
dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka tatkala Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau. Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman.
(QS.AL-'Araf:143)
pada waktu itu telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)kepadanya,
berkatalah Musa: “ Ya Tuhanku, nampakkanlah diri-Mu kepadaku agar dapat melihatmu”.
Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku,
tetapi lihatlah bukit ini, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti semual)
niscaya kamu dapat melihatku. Tatkala Tuhannya menampakkan dirinya Kepada gunung itu,
dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka tatkala Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau. Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman.
(QS.AL-'Araf:143)