“Dan carilah pada apa saja yang telah di anugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan kamu melupakan bagaimana dari (keni'matan) duniawi dan berbuat kebaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash:77)
Allahu Akbar.......!Tegak berdiri sikap sempurna menyerahkan jiwa dan raga dalam satu tujuan dalam melakukan shalat adalah tidak boleh tidak. Pengabdian makhluk pada Sang Pencipta merupakan keketentuan absolut ilahi. Kehidupan manusia dalam panggung sandiwara yang fana ini tak mungkin terlepas dari gejolak persaingan materi dari mempertahankan hidupnya.
Karat dan raka'at adalah dua kata yang berbeda jauh dari masyrik ke magrib. Kata karat bukan berarti lapuk pada besi atau yang sejenisnya, melainkan karat adalah karat; suatu satuan ketentuan pada batu atau biji pada emas sedang raka't jama dari kata raka'atan (baha Arab) yang sudah maklum diketahui dalam shalat, tapi mengapa raka'at dan karat bertemu akrab dalam seloteh tajuk ini?.
Manusia adalah makhluk buas tapi tidak mau mengaku buas, atau dibilang buas. Selalu saja mengkambing hitamkan si raja hutan sebagai hewan buas lainnya. Cinta mausia kepada harta sudah mengurat-akar dan melebel dalam darah dan daging. Persaingan “si karat” dan raka'at seringkali membuat pusing manusia dalam pusaran pergolakan dunia yang selalu mengacungkan senjata dan menarik picu pelatuknya. Sebab animo ( kemauan) manusia adalah mencari kemenangan si karat dimanpun dia berada, yang membuat mereka lupa dan mengalahkan raka'at hanya untuk kepentingan dunia. Padahal raka'at adalah bekal kehidupan abadi yang mudah dicapai tanpa mengeluarkan modal yang banyak, tetepi manusia cendrung mencari dan mengutamakan yang “24 karat” dalam 24 jam siang dan malam, mengalahkan “17 raka'at “ yan hanya kurang lebih 25 menit dalam lima kali pertemuan siang dan malam.
Manusia memang dijadikan pemimpi dimuka bumi ini, mainimal pemimpin dirinya (ibda binafsik). Tetapi walau demikian janganlah menjadi pemimpin yang diktator bebas menentukan kehendak sendiri. Mesti diingat bahwa di atas pemimpin ada pemimpin; yang mengatur, menilai, menentukan kedudukan kita, Dia adalah Pencipta yang Esa (Allah SWT).
Untuk itulah sifat adil bagi pemimpin adalah diatas segalanya dan itulah yang harus dipenuhi bagi seorang pemimpin; adil bagi dirinya dan yang lainnya. Namun, sangatlah disayangkan keadilan di zaman seperti ini hanyalah menjadi simbol-simbol kepemimpinan dan penguasa yang pada kenyataannya kadang kurang atau tidak terimplementasi. Sehingga peraturan Allah SWT yang bernama si “raka'at” yang hanya 17 itu sering kali tercampak di bawah kepentingan dan keglamoran hidup di dunia, terkesiak kalah oleh si “karat” yang 24. mungkin karena banyak dan lebih menjanjikan secara nyata, lalu kemudian banyak dikejar orang.
Apakah si karat selalu menang? Mungkin saja! Jika rasa adil dan keadilan pemimpin selalu silau akan gemarlapnya dunia. Dan sebaliknya, raka'at akan menang jika pemimpin atau manager (khalifah) mengerti akan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Tuhannya. Yang terakhir ini adalah tips berguna menjaga raka'at (shalat) sepanjang hayat.
No comments:
Post a Comment